Archive for 2009

Model-Model Pembelajaran

Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya  belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.
Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif  sehingga cocok untuk situasi dan kondisi yang dihadapi. Akan tetapi sajian yang dikemukakan pengantarnya berupa pengertian dan rasional serta sintaks (prosedur) yang sifatnya prinsip, modifikasinya diserahkan kepada guru untuk melakukan penyesuaian, penulis yakin kreativitas para guru sangat tinggi.

1. Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusis sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniatur dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksi konsep,  menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karakter), ada kontrol dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan. Baca lebih lanjut

PEDOMAN PEMBELAJARAN TATAP MUKA, PENUGASAN TERSTRUKTUR, KEGIATAN MANDIRI TIDAK TERSTRUKTUR

Oleh: Bangkursobo

KONSEP DASAR DAN IMPLEMENATSI

A. Konsep Dasar Pembelajaran

1. Belajar dan Pembelajaran

Belajar dan pembelajaran merupakan konsep yang saling berkaitan. Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku akibat interaksi dengan lingkungan. Proses perubahan tingkah laku merupakan upaya yang dilakukan secara sadar berdasarkan pengalaman ketika berinteraksi dengan lingkungan. Pola tingkah laku yang terjadi dapat dilihat atau diamati dalam bentuk perbuatan reaksi dan sikap secara mental dan fisik. Tingkah laku yang berubah sebagai hasil proses pembelajaran mengandung pengertian luas, mencakup pengetahuan, pemahaman, sikap, dan sebagainya. Perubahan yang terjadi memiliki karakteristik: (1) perubahan terjadi secara sadar, (2) perubahan dalam belajar bersifat sinambung dan fungsional, (3) tidak bersifat sementara, (4) bersifat positif dan aktif, (5) memiliki arah dan tujuan, dan (6) mencakup seluruh aspek perubahan tingkah laku, yaitu pengetahuan, sikap, dan perbuatan. Keberhasilan belajar peserta didik dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.

Faktor internal, yaitu kondisi dalam proses belajar yang berasal dari dalam diri sendiri, sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Ada beberapa hal yang termasuk faktor internal, yaitu: kecerdasan, bakat (aptitude), keterampilan (kecakapan), minat, motivasi, kondisi fisik, dan mental. Faktor eksternal, adalah kondisi di luar individu peserta didik yang mempengaruhi belajarnya. Adapun yang termasuk faktor eksternal adalah: lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat (keadaan sosio-ekonomis, sosio kultural, dan keadaan masyarakat). Baca lebih lanjut

Pembelajaran Matematika dengan Problem Posing

Oleh: Abdussakir

Belajar Matematika dengan Pemahaman

Menurut Hudojo (1990:5), dalam proses belajar matematika terjadi juga proses berpikir, sebab seseorang dikatakan berpikir bila orang itu melakukan kegiatan mental. Seseorang yang belajar matematika, mempersiapkan mentalnya dalam proses penerimaan pengetahuan baru yang disertai tindakan-tindakan konkret oleh orang itu melalui penyelesaian masalah matematika.

Sebelum tahun 1935, pembelajaran matematika (atau lebih tepatnya aritmetika) dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologi stimulus-respon (As’ari, 1998:2). Perhatian utama pendekatan stimulus-respon adalah kemampuan siswa menghafal dan menggunakan rumus atau algoritma secara efektif. Guru sudah cukup puas bila siswa sudah mampu mengoperasikan bilangan dan trampil menggunakannya untuk menyelesaikan masalah. Guru tidak memikirkan bahwa apakah siswa betul-betul memahami sesuatu yang dilakukan. As’ari (1998:3) juga mengemukakan bahwa guru tidak terlalu dipusingkan untuk membedakan dua istilah “know” dan “know how to”.

Situasi ini berakhir setelah seorang pakar matematika Brownell (1935) menyoroti pentingnya pemahaman dalam pengajaran aritmetika dan membedakan kedua istilah di atas. Orang mulai menyadari bahwa ada dua pengetahuan yang dapat dipelajari dalam matematika, yaitu pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural. Kedua pengetahuan itu mempunyai peran yang sama pentingnya dan keduanya perlu diajarkan di sekolah (Hiebert dan Lindquist dalam As’ari, 1998:3). Suydam dan Higgins (dalam As’ari,1998:3), menyatakan  bahwa sejak Brownell mengemukakan pendapatnya tersebut,  pentingnya pemahaman dalam pengajaran aritmetika semakin diakui keberadaannya. Baca lebih lanjut

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Oleh: Ahmad Firdaus

A.  Pengertian dan Hakekat Pemecahan Masalah

Terdapat banyak interpretasi tentang pemecahan masalah dalam matematika. Di antaranya pendapat Polya (1985) yang banyak dirujuk pemerhati matematika. Polya mengartikan pemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu segera dapat dicapai. Sementara Sujono (1988) melukiskan masalah matematika sebagai tantangan bila pemecahannya memerlukan kreativitas, pengertian dan pemikiran yang asli atau imajinasi. Berdasarkan penjelasan Sujono tersebut maka sesuatu yang merupakan  masalah bagi seseorang, mungkin  tidak  merupakan masalah bagi orang lain atau merupakan hal yang rutin saja.

Ruseffendi (1991b) mengemukakan bahwa suatu soal merupakan soal pemecahan masalah bagi seseorang bila ia memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menyelesaikannya, tetapi pada saat ia memperoleh soal itu ia belum tahu cara menyelesaikannya. Dalam kesempatan lain Ruseffendi (1991a) juga mengemukakan bahwa suatu persoalan itu merupakan masalah bagi seseorang jika: pertama, persoalan itu tidak dikenalnya. Kedua, siswa harus mampu menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan siapnya; terlepas daripada apakah akhirnya ia sampai atau tidak kepada jawabannya. Ketiga, sesuatu itu merupakan pemecahan masalah baginya, bila ia ada niat untuk menyelesaikannya.

Lebih spesifik Sumarmo (1994) mengartikan pemecahan masalah sebagai kegiatan menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan Sumarmo tersebut, dalam pemecahan masalah matematika tampak adanya kegiatan pengembangan daya matematika (mathematical power) terhadap siswa. Baca lebih lanjut

Pembelajaran Matematika dengan Tugas Bentuk Superitem

Oleh: Ahmad Firdaus

Biggs dan Collis (dalam Sumarmo 1993, h. 2) melakukan  studi tentang struktur hasil belajar dengan tes yang disusun dalam bentuk superitem. Biggs dan Collis dalam temuannya mengemukakan bahwa pada tiap tahap atau level kognitif  terdapat struktur respon yang sama dan makin meningkat dari yang sederhana sampai yang abstrak. Struktur tersebut dinamakan Taksonomi SOLO (Structure of the Observed Learning Outcome). Menurut Biggs dan Collis berdasarkan kualitas model respon anak, tahap SOLO anak diklasifikasikan pada empat tahap atau level.  Keempat tahap tersebut adalah unistruktural, multistruktural, relasional, dan abstrak.

Studi  tentang  tahap  SOLO,  juga  dilakukan  Sumarmo (1993).  Temuan dalam studi ini menguatkan keyakinan bahwa dalam pembelajaran   matematika, penjelasan konsep kepada siswa hendaknya tidak langsung pada konsep atau proses yang kompleks, tetapi harus dimulai dari konsep dan proses yang sederhana. Berdasarkan keyakinan tersebut, Sumarmo (1993) memberikan alternatif pembelajaran yang dimulai dari yang sederhana meningkat pada yang lebih kompleks. Pembelajaran tersebut menggunakan soal-soal bentuk superitem sebagai tugas.

Pembelajaran menggunakan tugas bentuk superitem adalah pembelajaran yang dimulai dari tugas yang sederhana meningkat pada yang lebih kompleks dengan memperhatikan tahap SOLO siswa. Dalam pembelajaran tersebut digunakan soal-soal bentuk superitem. Alternatif pembelajaran yang direkomendasikan Sumarmo tersebut, dirancang agar dapat membantu siswa dalam memahami hubungan antar konsep. Juga membantu dalam memacu kematangan penalaran siswa. Hal itu dilakukan agar siswa dapat memecahkan masalah matematika.

Sebuah  superitem  terdiri  dari  sebuah  stem yang  diikuti beberapa pertanyaan atau item yang semakin meningkat kekompleksannya. Biasanya setiap superitem terdiri dari empat item pada masing-masing stem. Setiap item menggambarkan dari empat level penalaran berdasarkan Taksonomi SOLO. Semua item dapat dijawab dengan merujuk secara langsung pada informasi dalam stem dan tidak dikerjakan dengan mengandalkan respon yang benar dari item sebelumnya. Pada level 1 diperlukan penggunaan satu bagian informasi  dari  stem. Level 2  diperlukan dua atau lebih bagian informasi dari stem.  Pada level 3 siswa harus mengintegrasikan dua atau lebih bagian dari informasi yang tidak secara  langsung  berhubungan  dengan  stem, dan pada level 4 siswa telah dapat mendefinisikan hipotesis yang diturunkan dari stem. Baca lebih lanjut

Menyelesaikan Masalah Matematika dengan Menggunakan Tabel

P1250017Kita sering dihadapkan pada soal-soal matematika bentuk pemecahan masalah. Bentuk soal pemecahan masalah merupakan soal yang tidak rutin. Hal inilah yang menyebabkan kita sering kesulitan dalam menyelesaikan soal bentuk pemecahan masalah.
Banyak strategi pemecahan masalah yang sering digunakan, salah satunya menggunakan strategi membuat tabel. Berikut ini contoh strategi penggunaan tabel dalam menyeleaikan soal pemecahan masalah matematika.
Contoh 1
Sepuluh tahun yang lalu umur Ghazi adalah empat kali umur Fira. Tahun ini umur Ghazi dua kali umur Fira. Berapakah umur mereka masing-masing pada tahun ini? Baca lebih lanjut

Kecakapan Matematika

Kegiatan bermatematika siswaMatematika sebagai sarana pembentukan pola pikir siswa dapat diukur dari kemampuan atau kecakapannya (Mathematical Proficienncy). Rumusan kemampuan dan kecakapan matematika adalah sebagai berikut:

1.  Conceptual Understanding, yaitu kemencakupan konsep, operasi dan relasi dalam matematika yang dimiliki siswa.

2. Procedural Fluency, yaitu kemahiran siswa dalam menggunakan prosedur secara fleksibel, akurat, efisien, dan tepat.

3. Strategic Competence, yaitu kemahiran atau kemampuian siswa untuk merumuskan, menyajikan, serta memecahkan masalah-masalah matematika.

4. Adaptive Reasoning, yaitu kapasitas untuk memperkirakan, mereflkesikan, menjelaskan, dan menilai matematika.

5. Productive Disposition, yaitu kebiasaan siswa yang cevderung melihat matematika sebagai sesuatu yang masuk akal, berguna, dan berharga bersamaan dengan kepercayaan mereka terhadap ketekunan dan keberhasilan dirinya sendiri dalam matematika.

Sumber:

Kllpatrick et al (2001). Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics